Ave Maryam : Pastor dan Suster dalam Pusaran Cinta Terlarang

Isa Oktaviani
By -
0

Ave Maryam : Pastor dan Suster dalam Pusaran Cinta Terlarang

"Apakah kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu menikmati hujan di tengah kemarau"

Kalimat gombalan ala Romo Yosef (Chiccho Jerikho) yang membuat Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) jadi gundah. Inilah awal kisah terlarang antara seorang suster dan pastor ini.

Judul         : Ave Maryam
Genre        : Drama
Durasi       : 1 jam 13 menit
Sutradara : Ertanto Robby Soediskam

Pemain      : 
1. Maudy Koesnaedi (Suster Maryam)
2. Chicco Jerikho (Romo Yosef)
3. Tutie Kirana (Suster Monic)
4. Olga Lydia (Suster Mila)
5. Joko Anwar (Romo Martin)
6. Nathania Angela  (Dinda)


Kita patut bersyukur karena film yang dianggap cukup sensitif ini akhirnya lolos sensor dan bisa tayang di bioskop tanah air. Menyaksikan suguhan manis dari sutradara yang biasa mengantongi penghargaan di luar negeri ini membuat kita dapat menyimpulkan sendiri apa cerita yang diangkat. 

Mengambil latar belakang Semarang (1998), dari sini timbul benih-benih cinta seorang romo dan suster. Dalam ajaran Gereja Katolik, seorang pastor maupun suster yang mendapat panggilan untuk melayani tidak diperkenankan menikah karena hidup mereka seutuhnya diserahkan kepada pelayanan umat Tuhan.

Namun, bagaimana jika seorang pastor jatuh cinta kepada lawan jenisnya? Atau apa yang akan terjadi ketika sesama pelayan Tuhan saling jatuh cinta sementara mereka tidak boleh menikah? Sebuah dilema yang amat dalam karena apakah bersetia pada panggilan atau memutuskan menjalin hubungan dengan seseorang yang dia cintai. Kegelisahan itulah yang mungkin menghantui Suster Maryam dan Romo Yosef.

Kelebihan

1. Tema

Saya suka dengan tema yang diangkat karena unik. Sangat jarang tema seperti ini ditayangkan di bioskop Indonesia. Tema yang diangkat ini semakin epik ketika dimainkan oleh para pemeran dengan akting yang luar biasa. Memang, tema seperti ini cukup sensitif dan tidak biasa di kalangan masyarakat tetapi ini menambah keistimewaan film ini sehingga kita punya perspektif baru ketika menyaksikan film ini.

2. Sinematografi

Tak bisa dipungkiri, garapan sutradara Ertanto Roby ini sangat memanjakan mata. Tampilan pembuka saja langsung membuat mata tak bisa berkedip. Semua yang ditampilkan sungguh indah dan dekat dengan kata sempurna. Misalnya di bagian pembuka yang menyajikan pemandangan laut yang tapi di tengah-tengah ada jendela, tempat sang suster memandang keindahan, kemudian saat Pastor Yosef dan Suster Maryam menaiki banyak anak tangga untuk pergi ke sebuah gedung tinggi kemudian saat saat Pastor Yosef menunggu Suster Maryam sambil bersandar di dinding dengan shoot yang lebar sehingga terlihat tempat itu kota lama yang penuh cerita dan kenangan.Tampilannya semakin epik karna menggaet fotografer kondang Ical Tanjung sebagai Director of Photography. Tone warna khas film klasik menjadi daya pikat menonton film ini hingga akhir.

3. Pemilihan Backsound

Dengan mengambil setting waktu tahun 90an, memang film ini harus mampu memikat para penonton dengan suguhan yang tidak biasa sehingga mereka tetap betah. Pemilihan backsong yang tepat ternyata sangat membantu dan nyatanya ini mampu membuat penontonnya betah bertahan lama dan setiap menikmati setiap bagian yang ditampilkan. Terlebih lagi, scene yang paling menarik bagi saya adalah saat perjalanan Pastor Yosef dan Suster Maryam perjalanan menuju pantai, selain pemandangan yang eksotis juga musiknya pas di telinga. 

 

4. Penuh Rasa

Tidak seperti film pada umumnya yang menyampaikan pesan lewat dialog antar pemain. Tapi, justru lewat ekspresi dan artistiklah pesan tersebut disampaikan sehingga penuh rasa dan makna. Maka tidak heran, setiap ekspresi yang muncul adalah pesan yang hendak disampaikan. Cara unik inilah yang juga akhirnya memaksa penonton untuk tidak berpaling dari layar bioskop.

5. Quote

“Jika surga belum pasti untuk ku, untuk apa aku urus neraka mu”

 Kekurangan

1. Kurang Detail

Dalam film ini tidak digambarkan secara detail latar belakang Suster Maryam, kenapa dia yang merawat Suster Monic dan latar belakang keluarga Maryam juga digambarkan dengan jelas. Kemudian, sebenarnya apa yang terjadi kepada Suster Monic, ini juga tidak dapat dipahami secara jelas oleh penonton

2. Durasi dipotong

Sayangnya, ada sekitar 12 menit yang dipotong yang mungkin bisa menjawab pertanyaan saya di poin satu tadi. Tapi, karena ini isu cukup sensitif dan tua pro kontra, maka ada beberapa bagian yang dipotong. Akhirnya, kita tidak dapat menikmati secara utuh.

3. Ending Gantung

Setelah menyaksikan lebih dari satu jam, rasanya agak kesal dengan ending yang tidak jelas. Misalnya, apa yang terjadi kepada pastor dan suster yang terbelit cinta terlarang ini. Apakah mereka meninggalkan panggilan kemudian memutuskan menikah atau sebaliknya, tetap berpegang teguh dalam panggilan. Akhir cerita yang tak ada kepastian ini membuat para penonton sedikit kecewa.

Namun, keseluruhannya film ini cukup menambah wawasan kita terutama soal isu sensitif ini, antara cinta dan panggilan sehingga ada pergulatan batin khususnya di agama Katolik. Kemudian, ada pesan toleransi yang disampaikan di film ini, bagaimana hubungan anak kecil pengantar susu yang kebetulan adalah muslim dengan para suster di biara tersebut. Jadi, kamu penasaran? Silahkan cari dan tonton filmnya.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)