Cerita Gadis Rimba : Aku Mulai Sekolah

Isa Oktaviani
By -
0

Cerita Gadis Rimba : Aku Mulai Sekolah


Sejak beberapa bulan yang lalu aku tidur memeluk erat bantal, sangat menggemaskan. Karena mimpi indah sebentar lagi jadi murid sekolah. Hari yang berkesan akan datang membuaiku dengan seragam penuh sukacita, beramai-ramai dengan kawan sekampung jalan kaki ke sekolah setiap hari. Hidup ini sangat mengairahkan, pasti sehabis belajar di kelas kami bermain sepuas hati di halaman sekolah sebelum pulang ke rumah. Hari itu tanggal 5 Juni 2001 dengan hati berbunga-bunga mandi pagi sambil bernyanyi kecil dan bersiap berangkat ke sekolah.

Kepulan api obor bambu menerangi jalan tikus yang jadi satu-satunya akses menuju sekolah. Puluhan pasang kaki melangkah berganti, tak terlihat badan mereka, hanya cahaya dari obor bambu yang silih berganti menerangi jalan. Aku ada di kumpulan itu, berangkat lebih subuh demi mendapatkan meja paling depan. 


Hari ini adalah hari pertama sekolah, semua berlomba untuk meja terdepan. Aku sangat senang, dari kejauhan tampak bangunan memanjang dengan deretan pintu seperti rumah panjang. Tidak bertingkat tetapi bukan rumah panggung layaknya rumah panjang tetapi berdinding kayu dan ada sebagian dindingnya bocor, kayu rapuh terlihat mulai tak kokoh lagi.


Dengan gairah memuncah, kami memasuki ruangan kelas I. Mejanya agak panjang, muat dua orang. Bukan meja baru atau kursi baru, semua nampak sudah rapuh dan banyak coretan. Sama dengan seragamku, bukan baru karena bekas pakai dari kakakku. Tapi seragam ini tidak lusuh dan tanpa coretan. Aku, Sinta, dan Rani amat riang karena bisa dapat bangku paling depan.


“Aku dapat bangku paling depan. Asikk” kataku kegirangan.

“Aku juga di depan” sahut Rani.


Hari pertama ke sekolah di tutup dengan perkenalan teman sekelas. Rasanya senang banget, ada 30 orang teman baru yang siap jadi teman mainku nanti di sekolah ini. Akupun pulang ke rumah dengan riang gembira.


Sekolah dimulai, ibu guru mengajari kami cara menulis angka 1 hingga 10, menulis abjad A-Z. Perlahan terbiasa dan akhirnya bisa meski tulisan miring ke kiri dan ke kanan, seperti jalan orang lagi mabuk berat, hehehe. Tak mengapa, bu guru baik dan tak marah-marah.

Kami mulai diajarkan per kalimat, ingat sekali apa yang di tulis.


Ini Budi

Ini Ayah Budi

Ini Ibu Budi


Hampir setiap hari ini diulang dan diulang sampai kami bisa. Mengeja dan menyebut satu persatu kata yang ada di papan tulis itu. Ibu guru menuliskan dengan huruf yang besar biar semua bisa melihat dengan jelas sampai ke belakang. Setiap hari datang ke sekolah dengan hati yang gembira karena selain asik belajar juga bisa main sepuasnya, lapangan sekolah sangat luas sekali. Suasana sekolah selalu kurindukan. Tanpa terasa, setahun sudah berlalu dan aku naik kelas.


Tahun kedua duduk di bangku sekolah, makin seru dan menantang. Juga sangat menyenangkan karena akhirnya aku dapat teman yang sangat akrab denganku, mereka adalah Marsel dan Romi. Ya, satu tingkat di bawahku tapi kami tak terpisahkan, kemanapun pergi selalu sama-sama.


Masih segar dalam ingatan ketika kelas 1 dan kelas 2 pulang jam 10 pagi, Aku, Marsel dan Romi bergegas pulang duluan. Kami tidak mau ketinggalan serial Tutur Tinular yang selalu hadir pukul 11 siang di radio kesayangan. Kalau jalan santai, jarak dari sekolah ke rumah sekitar 2 jam perjalanan tetapi karena demi mendengar kelanjutan serial drama kolosal itu, kami bertiga pulang sambil bermain. Permainannya adalah kejar jalan, dimana akan ada satu orang yang kalah hompimpa maka dia yang akan jaga, yang lain akan berlari tapi di pinggir jalan, tidak boleh menginjak jalan. Berlari kencang, kencang sampai tak bisa di gapai oleh yang jaga. Dengan permainan kejar jalan ini, kami akan sampai di rumah hanya dalam 1 jam.


Posisi tengkurap, telinga dimepetkan ke speaker radio, kami semua dengan posisi yang sama dan tak seorangpun boleh bersuara, kalau tak sengaja bersuara, siap-siap kepala dijitak.

“Eh jangan ribut. Tak terdengarkan tadi Mesin ngomong apa” kata kak Mela sambil jitak kepalaku.


Padahal Aku tak sengaja nepuk lantai karna geram dengar adegan Mesin dan Ariakamandanu lagi bertengkar. Kami semua sangat cinta dengan drama itu, semua senang mendengarkannya. Selesai dengar sandiwara radio, semua kembali bekerja. Aku lanjut bermain dengan teman-teman.


Jelang sore hari, kami kompak membuat peluru ketapel dari tanah liat, digulung seperti cilok lalu dimasak, biar keras maka dipanaskan di atas seng atau bahan almunium lainnya seperti kita sedang memasak sayur. Peluru siap dipakai, kami berangkat ke hutan cari burung. Tarik ketapel meluncur di bagian sayap burung, terjatuh akhirnya dapat satu buruan. Saat peluruh masih agak panas, sangat berguna karena meski tak terlalu kena badan burung tapi karena panas mereka kaget dan jatuh.


Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)