Cerita Gadis Rimba : Rimba, Surga Dunia

Isa Oktaviani
By -
0

Cerita Gadis Rimba : Rimba, Surga Dunia


Udara begitu segar, kicauan burung jadi hiburan setiap hari. Tanaman buah juga tumbuh subur di kawasan rumah. Bahkan, jarak rumah satu dan lainnya cukup jauh, kawasan itu ditumbuhi rambutan, mangga, sirsak, pisang, manggis, langsat, berinang wuluh, jambu, langsat dan buah-buahan lain. Sedangkan agak jauh, di ladang mamak bapak, tumbuh subur berbagai sayuran, bayam, timun, jagung, dan lainnya yang siap panen siap jadi santapan di rumah. 

Rasanya kami tak pernah kekurangan, apapun yang ingin dimakan tinggal petik saja, semua tersedia di kawasan rumah. Kami tak kenal istilah membeli, jika ingin tinggal ambil dan nikmati, buah maupun sayuran semua serba ada. Kediaman kami yang persis di pinggir sungai memudahkan juga untuk mencari ikan. Beragam jenis ikan sungai siap dipancing untuk santapan bersama. Aku paling sering mancing sama bapak dengan sampan kecil kami. Paling senang mancing malam, karena ikannya lebih banyak jadi tak perlu lama udah bisa dapat banyak. Bahkan, mancing di ujung gertak aja bisa dapat ikan banyak.


Biasanya untuk menemani santapan sayur dan ikan, lebih lengkap dengan kehadiran udang goreng. Berhubung rumah pinggir sungai jadi tinggal pergi nyamah aja (nyamah : mencari udang dengan wadah yang dibuat dari rotan). Begitu menyenangkan hidup di dekat sungai dengan kemudahan mencari ikan maupun udang. 


Selain berlimpahnya hidangan semesta, kami juga punya lahan yang sangat luas. Jarak rumahku dan rumah lainnya kurang lebih sekitar delapan ratus meter. Rumah kami tepat di dekat sungai dengan empat gertak dari yang sejajar pantai hingga hanya sedikit lebih tinggi dari bibir sungai karena rumah kami adalah rumah panggung jadi cukup tinggi, sekitar 3 meter dari permukaan tanah.  


Di sebelah rumah, ada halaman yang luas dengan rumput hijau yang biasa kami gunakan untuk lapangan bola. Luasnya sekitar 500 meter tapi untuk bermain bola hanya di gunakan secukupnya. Lalu, di sebelah hilir jarak sekitar 800 meter ada dua buah rumah tante sepupu. Dekat rumah mereka ada pohon jambu air, langsat dan banyak pohon cempedak. Tempat kami bermain dan sambil menikmati buah-buahan sesuka hati. Di sini kami biasa menghabiskan waktu sore, apalagi ada pohon jambu mawar sekitar 300 meter dari rumah tante yang jadi pohon primadona untuk memetik buah yang manis itu.


Sedangkan rumah pak tua ku ada di tanjakan, kurang lebih 300 meter dari rumahku. Di antara rumah kami dan rumah pak tua, ada pohon langkat, sirsak, dan srikaya yang juga jadi santapan sambil bermain. Pohon rambutan dan asam mangga juga tumbuh subur di sekitar pekarangan rumah yang membuat kami semakin mencintai tempat ini. Rumah kami memang jaraknya jauh-jauh tapi setiap sore hari selalu berkumpul untuk main bersama. Main kasti dengan buah srikaya pernah kami lakukan, yaa kalau kena lemparan bakal sakit banget. Apalagi buah yang setengah matang, berasa mau pingsan tapi kadang kami gunakan buah yang masak, pas kena lemparan langsung berhampuran daging buahnya. 


Main bola juga sangat menyenangkan, karena anak sebaya cukup ramai jadi seru. Permainan gasing tidak pernah lupa ketika musim panen padi tiba, berlomba siapa yang paling terbaik gasingnya. Sedangkan mobil-mobilan, kami juga selalu bermain, tapi bukan mobil yang di jual di toko mainan atau mall, kami membuatnya dari kayu dan bikin sendiri. Bodi mobil dari kayu, sedangkan bannya dari tutup botol atau sandal karet yang sudah rusak. Kami membuatnya bersama, tidak dibantu orang tua. Speedboat kami membuat dari pelapah sagu lengkap dengan bendera dari daunnya. Kadang aku bingung, dari mana ide itu datang sementara kami tidak pernah melihat speedboat atau mobil benaran karena di tempat kami hanya ada sampan dan juga kapal motor atau klotok.


Ada satu permainan yang sampai saat ini aku kalau ingat cuma ketawa antara mikir dulu bodoh dan tak ada kerjaan atau gimana. Jadi, kami akan memanjat pohon paling tinggi di pinggir sungai lalu terjun bebas dari pohon itu, dada sakit kadang sampai merah karena hempasan air ternyata tak terhiraukan, rasa bangga kalau gelombangnya semakin besar. Dan anehnya, kami mau manjat pohon itu berulang dan kemudian terjun, manjat lalu menghempaskan badan ke sungai. Kami akan selesai kalau mata mulai merah dan perut lapar kalau belum, berarti permainan harus lanjut. Selain manjat dan terjun bebas, kami juga sering main sihir-sihiran di sungai, ini terinspirasi dari drama radio tutur tinular yang kami dengarkan. Air akan didorong sangat kuat dengan telapak tangan kanan sambil menyemburkan suara persis di serial radio itu.


Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)