LGBT : Antara Stigma dan Penyakit

Isa Oktaviani
By -
1
Sumber : google.com


"Aku dulu di pandang mereka sebelah mata, tetapi aku tetap berjuang dan sering ikut lomba mewakili kampus dan menang, akhirnya mereka jadi respect sama aku. Mereka yang dulu nya membully karena aku seorang gay dan agak ngondek padahal di kampus Teknik notabene sangar-sangar sekarang sudah mulai menghargai aku hanya karena aku bisa membawa piala ke kampus" kata seorang teman, aku menyebutnya Mr. D dan nama sebenarnya sama dengan salah satu artis yang aku suka.



Ungkapan dari Mr. D sebagian kecil dari rintihan mereka yang memiliki nasib serupa. Aku menyebutnya manusia pelangi karena terdapat beragam latar belakang di sini. Manusia pelangi atau Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) sudah tidak asing bagi kita bahkan mereka sudah ada jauh sebelum saya lahir.

Mengutip dari republika.co.id - menelisik perjalanan LGBT di Indonesia, LGBT muncul di Indonesia pada tahun 1960 namun ada yang berpendapat bahwa pada tahun 1920 sudah ada LGBT tetapi lebih banyak yang pendapat pada tahun 1960.

Kehadiran mereka hingga kini memang selalu menjadi perbincangan hangat. Pendapat untuk menjabarkannya telah bertaburan dimana-mana tapi sebagai kaum minoritas, manusia pelangi banyak di tentang atau lebih banyak yang kontra terhadap mereka.

Kenapa banyak yang kontra ya, apa yang salah dengan mereka?

Bagi beberapa orang, LBGT ini adalah penyakit yang harus disembuhkan misalnya dengan mendekatkan dirinya kepada Tuhan atau terapi. Tapi, kenapa masih belum "sembuh" juga ?

Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita. Apa yang mempengaruhi orang sehingga menjadi bagian dari LGBT dan benarkah ini suatu gejala penyakit ?

American Psychiatric Association (APA) dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah sebuah kondisi akibat gangguan mental. Begitu juga Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi III (PPDGJ III) yang diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993, menyebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah suatu gangguan.

Namun sayangnya, kehadiran mereka yang sudah berani coming out tentu akan ditentang banyak orang bahkan keluarga pun ada yang menolak maka tidak jarang mereka menyembunyikan identitas orientasi seksual mereka.

Hal ini pun saya rasa terjadi di sekitar kita. Ketika mengetahui seseorang termasuk dalam golongan manusia pelangi pasti yang pertama muncul "itu dosa", "menyimpang" "calon penghuni neraka" dan masih banyak lagi. Tidak ada satu pun yang benar terhadap mereka.

Iya sama, dulu aku pun begitu. Jangan kan bertemu langsung dan ngobrol akrab, lihat bendera pelangi saja aku takut, "itu kumpulan orang berdosa, menjijikkan" dan akhirnya aku tak membuka diri untuk sekedar berdialog.

Satu yang paling aku takutkan dekat dengan mereka adalah takut "menular" dan merasa tidak berani menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang yang menentang agama. Terlebih lagi kita telah dijerat oleh stigma, LGBT pasti hobinya free sex, tentu semakin mendorong nurani untuk jangan dekat-dekat.

Namun, pada tahun 2015 lalu, ketika mengikuti workshop jurnalistik keberagaman, kami dihadapkan dengan kenyataan yang sama sekali tidak terduga. Iya, kami harus bertatap langsung dengan Komunitas Satu Hati, salah satu naungan LGBT.

Di sana banyak cerita-cerita yang dibagikan oleh mereka, bagaimana mereka di tolak dan diperlakukan oleh lingkungan. Tapi, aku masih belum tergoyahkan, sedikit respect tapi tetap agak jijik dengan gaya mereka yang ngondek (biasa nya yang ngondek ini mereka yang trans women).

Apalagi makin hari makin banyak berita yang berkaitan dengan LGBT ini sehingga komtar netijen (netizen) Indonesia semakin melimpah. Kebanyakan membully, memaki, menghujat, tidak ada komentar yang baik semua menyudutkan.

Aku pun kadang ikut-ikutan, tapi hanya dalam hati. Dengan sombongnya aku bergumam dalam hati, loh ini kan menyimpang, tak ada satu agama pun yang membenarkan mereka. Tapi, pemikirannya mulai terbuka setelah benar-benar dapat berdialog langsung dengan mereka. Stigma-stigma yang menggerogoti jiwaku sedikit demi sedikit berkurang.

Kok bisa ya, jangan-jangan sudah dipengaruhi ??

Kita biasa berfikir, ketika dekat dengan mereka maka kemungkinan terbesar mereka menjerumuskan kita agar jadi bagian mereka. Parah banget ya, jadi takut mau dekat-dekat.

Tapi, kenyataannya tidaklah seperti itu. Orientasi seksual seseorang biasanya adalah bawaan dari lahir jadi itu bukan kemauan mereka. Tuhan kita memang luar biasa kok, Dia menciptakan kita beragam tapi kita maunya seragam.

Dan aku percaya, tidak ada kok yang menginginkan memiliki orientasi seksual "berbeda". Bahkan yang sudah menjadi LGBT itu bukan karena kemauannya. Sama seperti kita, saya terlahir sebagai seorang perempuan, bukan saya yang minta sama Tuhan, begitu pula dengan kamu. Kita mau dilahirkan seperti apapun itu adalah kehendak Tuhan. Jika Ia berkehendak maka akan terjadi.

Kadang aku berfikir, mereka yang komentar dan menghujat manusia pelangi itu apakah sudah pasti orang benar dan akan masuk surga dan apa jabatannya hingga bisa menetapkan seseorang berdosa dan pasti jadi penghuni neraka, emang dia siapa sih ?

Bagaimana dengan mereka yang LGBT tapi taat beribadah dan mengamalkan ajaran agamanya, selalu berbuat baik ? Apakah itu akan salah di mata Tuhan ?

Hanya Tuhan yang tahu.

Lalu, lebih respect kepada siapa, mereka yang sok alim tapi penipu dan koruptor atau manusia yang kesehariannya sama sekali tidak menganggu mu tapi kamu musuhi ?

Ada juga yang mabok agama tapi tidak menebarkan cinta kasih.
Sudahlah, pilihan ada di kamu.

Bagiku, selama orang tidak menganggu orang lain, maka janganlah kita menganggunya.

Berhentilah bersetubuh dengan stigma, cobalah sedikit untuk lebih terbuka terhadap apapun asal tidak menjerumuskan mu.

Aku ingat, Tuhan bersabda, kasihilah Tuhan. Kedua adalah kasihi sesamamu manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri.

Tidak ada kan Tuhan mengajarkan kita untuk pilih kasih, semua sama saja.

Barangsiapa tidak berdosa, ia boleh dengan bebas menghujat dan memaki bahkan memusnahkan orang-orang yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang.



Post a Comment

1Comments

Post a Comment