PMB : Ajang Pembodohan atau Pembentukan Karakter

Isa Oktaviani
By -
0
Sumber : google.com

Pada September 2013 lalu, saya merasakan nikmatnya menjadi mahasiswa baru disambut oleh seluruh civitas akademika Universitas tempat saya melanjutkan kuliah.

Sebelum resmi menjadi calon mahasiswa, saya sudah diperingatkan oleh abang sepupu yang lebih dahulu merasakan status mahasiswa. "Masuk Teknik harus tahan mental. Ospeknya kejam," katanya sambil tertawa.

Saya yang masih polos-polosnya kala itu langsung menyambut, "memangnya kejam gimana ?," kata ku penasaran. "Muka mu siap merah-merah karena di tampar dan di terajang juga," timpalnya.

Mendengar kata-kata itu sedikit cemas karena memang belum pernah merasakan ditampar apalagi ditendang. Tapi, tak ada gunanya menyerah sebelum berperang.
Saya lanjutkan tekad untuk ikuti semua prosesnya. Beberapa hari menjelang Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB) se-Universitas, ada juga orang yang mengingatkan bahwa PMB di Teknik memang keras.

Akhirnya, saat yang dinantikan atau bisa dibilang seram itu terjadi juga. Hari pertama kami ketawa ketiwi saja karena hanya ikut upacara penyambutan, sekitar pukul 12.00 siang langsung pulang. Tidak banyak pula keperluan yang harus dibawa selain air minum saja, berbeda dengan teman-teman di fakultas lain yang harus bawa makanan, minuman dan lain sebagainya.

Hari pertama berlalu, saya langsung bilang sama abang sepupu saya. "Katanya PMB Teknik seram. Nyatanya biasa aja," kata ku sambil tertawa lebar. "Kau tunggu saja hari berikutnya," kata dia.

Ternyata, hari kedua memang mulai kelihatan "seram" nya PMB itu. Tapi, setelah melewati dari hari pertama hingga ke-empat, tidak ada kejadian menakutkan seperti yang dibicarakan banyak orang.

Mungkin saja di mata orang lain PMB fakultas saya memang agak seram padahal kenyataannya tidaklah demikian. Semua yang dilakukan kepada mahasiswa baru kadang tidak masuk akal menurut saya tapi semua itu memiliki tujuan yang baik.

Hal tersebut bisa kami ketahui ketika sudah menjadi panitia. Uniknya lagi, orang-orang yang akan berhadapan langsung atau berbicara di depan mahasiswa baru harus di diklat dulu, tidak sembarangan. Jadi, apa yang mereka lakukan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tidak, maka dia akan dapat hukuman dari pendamping panitia.

Makanya, apapun yang akan dilakukan tidak semau nafsu tapi harus sesuai indikator yang ditetapkan. Nggak semudah yang kita bayangkan. Setiap elemen telah dibagi dan keutamaannya adalah keselamatan serta kesehatan peserta. Meski di depan peserta seperti ngga punya hati, padahal di belakangnya sangat peduli.

Terkadang memang ada beberapa kejadian yang tidak bisa kita terima secara logika, misalnya harus habiskan nasi satu bungkus dalam 5 menit, makannya nggak cuci tangan juga, kan jorok yaa..kemudian untuk ke toilet juga, bagi yang buang air kecil hanya ada 5 detik jika lebih maka pintu di gedor.

Tapi kembali lagi, hal-hal itu ada tujuan tersendiri dan anehnya peserta nggak sakit perut massal meski kadang ada satu dua orang yang tidak tahan. Namun, semua berjalan lancar.

Para mahasiswa baru diwajibkan memiliki mental yang kuat, tak mudah tergoyahkan dengan hal apapun maka muncullah kata-kata demikian "tak ade nyali balek jak ! (tidak ada nyali pulang saja !).

Tujuan kita mau kuliah kok, kenapa harus pulang. Tapi, karakter setiap orang kan berbeda, tidak semua mampu menghadapi tekanan seperti itu. Apalagi baru lulus SMA dan harus dihadapkan dengan kenyataan sepahit itu. Oleh karena itu, di tuntut tidak manja dan harus mandiri.

Lalu, muncul pertanyaan di benak kita. Apakah dengan sistem PMB yang berbau kekerasan fisik maupun psikis mampu membentuk karakter seseorang ?

Bagi saya, jawabannya sangat relatif. Bahkan, untuk mengkritik sistem PMB di Indonesia yang dinilai berbau perploncoan, maka dibanding-bandingkan dengan negara lain. Hmmm., so what?

Mereka hanya bisa mengkritik tapi tak bisa memberi solusi. Saran yang diberikan juga hanya "meniru" dari bangsa lain. Apakah itu menjamin adanya perubahan signifikan dan menjadi lebih baik? Belum tentu kan.

Saya jadi ingat kata salah satu alumni terbaik yang saya kenal, katanya untuk melakukan sesuatu itu jangan meniru orang lain tanpa kita tau dasar pemikiran mereka melakukannya. Kita harus paham kenapa itu dilakukan, untuk apa dan bagaimana cara melakukannya.

Namun, PMB yang dilakukan dengan kekerasan fisik maupun psikis tentu sangat menganggu kejiwaan anak-anak yang tidak terbiasa dengan hal demikian bahkan bisa berujung pada stress. Tidak peduli tujuannya untuk apapun, tapi kekerasan itu ada batasannya dan harus di patuhi agar tidak terjadi hal-hal buruk.

Saya ingat sekali, ketika PMB kami diwajibkan saling mengenal satu sama lain. Ada sekitar 600 orang harus dikenal, paling tidak, tahu namanya. Jika ada yang tidak kita kenal, maka akan dapat hukuman, namanya seri. Bagi laki-laki harus push up dan perempuan skot jump. Akhirnya karena keseringan sama-sama kamipun mengenal satu sama lain dan tanpa disadari tumbuh rasa kekeluargaan yang erat antar kami semua.

Lalu, haruskah dipaksa untuk saling mengenal dan mencari keluarga baru ?
Sepertinya memang harus begitu, entahlah. Kemajuan teknologi seakan mengikis rasa persaudaraan dan interaksi sosial kita.

Saya ambil contoh, saya mengenal beberapa teman di fakultas lain. Mereka juga berjumlah tidak jauh beda dengan kami, kurang lebih 600 orang tapi sayang yang dikenal hanya satu prodi saja dan mirisnya lagi hanya rekan satu kelas.

Saya jadi merasa beruntung karena dengan cara "dipaksa" akhirnya mendapat keluarga baru yang banyak dan akhirnya tulus untuk menjalin kedekatan satu sama lain. Dalam situasi apapun, semua selalu bergandengan tangan, saling bahu membahu bahkan hingga kini, empat tahun berlalu tetap terjalin hubungan yang tak terpisahkan.

Namun, karena kesalahpahaman, pada tahun 2016 terjadi sesuatu yang tidak diinginkan hingga berujung pada skorsing ketua BEM. Mulai dari situlah PMB berubah.
Satu tahun berlalu, saya sempat bertanya kepada beberapa orang teman angkatan yang tidak menjalani PMB seperti tahun sebelum-sebelumnya.

Bagi mereka, kebanyakan hanya berteman dengan satu kelas saja. Segala sesuatu hampir dilakukan sendiri kecuali ada tugas kelompok dan pastinya tidak mengenal teman di program studi lain. Mereka tidak bisa merasakan mendapat keluarga baru di fakultas yang sama.

Bagi saya, sepintar-pintarnya orang bukanlah apa-apa kalau tidak memiliki relasi yang baik dengan banyak orang dan meroketnya prestasi akademik tidak menjadi jaminan mereka menjadi orang sukses. Apa gunanya punya nilai akademik yang tinggi jika kepekaan sosialnya rendah. Akhirnya akan menjadi individualis.

Kadang ada stigma orang bahwa karena sibuk berkegiatan sehingga senior-senior itu telat wisuda dan di cap bodoh. Padahal tidak juga seperti itu, ia mungkin boleh saja tidak terlalu menonjol di bidang akademis tetapi bisa gemilang di non-akademis.
Banyak juga senior itu yang lama wisuda karena banyak proyek harus diselesaikan. Kesempatan berkarier itu mereka dapatkan karena membangun relasi yang baik dengan pendahulunya, bukan berarti tergantung pada orang lain, tetapi ia di pakai karena memang memiliki kemampuan.

Jadi, bagaimanapun bentuk PMB nya asal masih tidak mengancam keselamatan, jalani dengan senang hati. Anggap saja sedang outbond,

Percayalah, semua akan indah pada waktunya, tidak ada sesuatu yang sia-sia.

"Buat suasana enak tapi jangan seenaknye"





Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)