Indonesia dalam Selimut Keberagaman

Isa Oktaviani
By -
0


Akhir-akhir ini kita cukup cemas melihat keadaan interaksi sosial masyarakat Indonesia karena sering munculnya kegaduhan yang berbau Suku, Agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Hal ini karena mulai melunturnya sikap toleransi antar sesama serta kurang pedulinya untuk merawat kebersamaan dalam perbedaan.

Kata toleransi sendiri memang sudah tidak asing lagi bagi kita kerena sering digunakan sebagai acuan untuk merangkul sesama dalam kebersamaan dan menciptakan suasana perdamaian. Secara etimologi (asal usul katanya), kata “toleransi” dalam website etymonline.com muncul pada abad ke-15 dengan arti “endurance, fortitude (in the face of pain, hardship)” yang berarti “ketahanan, ketabahan ketika menghadapi kesakitan, kesusahan”. Akan tetapi, kata ini telah lebih awal digunakan dalam bahasa Perancis Kuno “tolerance” pada abad ke-14 bersamaan dengan bahasa Latin “tolerantia” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “supporting, bearing, endurance” yang mana dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “dukungan, ketahanan, dan ketabahan”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “toleransi” ini tidak lepas kaitannya dengan kata “toleran” yang memiliki arti “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”. Dari definisi “toleran” tersebut maka kata “toleransi” dalam KBBI dimaknai sebagai “sifat atau sikap toleran, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, dan penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja”.

Dari definisi di atas kita dapat melihat bahwa toleransi tersebut merupakan kata kerja sehingga akan membentuk sebuah aksi nyata bukan sekedar retrorika belaka. Saat zaman mulai menegur dengan kasarnya sehingga kita mencoba melarikan diri dan tidak menerima kenyataan maka timbullah sikap individualis atau tergabung dalam kelompok tertentu.

Misalnya kita bisa saksikan sekarang bahwa tidak sedikit masyarakat yang mendahulukan sikap membela agama nya ketimbang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga dengan mudah mengambil keputusan dan berujung pada sikap kebencian, dendam, iri hati, menghujat, serta membully.

Padahal sebenarnya ketika kita sedikit membuka diri dan mau memahami pasti tidak akan ada sikap tidak menghargai satu sama lain. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan terkikisnya rasa tolernasi kita seperti kepentingan kelompok tertentu dengan menjual isu agama maupun suku, serta pemimpin atau pemuka agama yang tidak mampu merangkul umatnya sehingga menimbulkan ajaran provokatif. Terlebih lagi dari diri kita sendiri tidak mau belajar memahami dan mendalami ajaran agama masing-masing sehingga dengan mudahnya diprovokasi dengan kata-kata yang berbau kebencian.

Toleransi Sebagai Kebiasaan

Pada tanggal 16 November 2017 lalu, Setara Institute mengeluarkan hasil riset kota-kota yang toleran di Indonesia. Ada 10 kota yang dianggap toleran yakni Manado, Pematangsiantar, Salatiga, Singkawang, dan Tual, masing-masing mendapat skor 5,90. Disusul Binjai, Kotamobagu, Palu, dan Tebing Tinggi dengan angka 5,80 serta di peringkat kesepuluh adalah Surakarta dengan nilai 5,72.
Namun, ada pula kota yang tidak toleransi, Ibu Kota Indonesia ini hanya mendapat skor 2,30 dari rentang skor 1-7, posisi kedua dalam daftar sepuluh kota paling tidak toleran di Indonesia ditempati Banda Aceh dengan skor 2,90; diikuti (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,30), Yogyakarta (3,40), Banjarmasin (3,55), Makassar (3,65), Padang 3,75, dan Mataram (3,78). (voaindonesia.com : kota paling toleran di Indonesia)

Hasil riset tersebut dirilis dengan tujuan agar kota-kota yang masuk daftar intoleransi mampu berbenah diri dan lebih menghargai perbedaan. Merawat keberagaman menjadi tanggungjawab bersama karena Indonesia terdiri dari beragam suku maupun agama hingga kepercayaan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Indonesia bukan milik sekelompok golongan saja sehingga keliru jika ada niat membuat Indonesia menjadi seragam dan membatasi kebebasan orang lain untuk menjalankan aktivitas sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Terlihat sangat arogan pula apabila ada satu kelompok tertentu yang memaksakan kelompok lain untuk mengikuti aturan atau cara main mereka karena setiap orang punya aturan sendiri sehingga tidak bisa disamaratakan dan semua pihak memiliki hak masing-masing untuk bebas mengekspresikan diri mereka.

Maka untuk merawat keberagaman kita harus bisa mengenali diri sendiri, lingkungan sekitar dan orang lain. Hal ini menjadi penting karena kita harus bisa terbuka dengan semua orang dan memahami satu sama lain bukan malah tersinggung atas perbuatan orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang kita yakini.


Indonesia damai ketika masyarakatnya mampu menerima satu sama lain dan meruntuhkan ego serta hidup dalam kebersamaan tanpa memandang suku maupun agama.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)