Tentang Pengamen di Lampu Merah

Isa Oktaviani
By -
0

Nada-nada asing menggelumbung di udara. Suara ukulele datang menghampiri telinga ku. Pagi hampir selesai dan sinar matahari mulai mengamuk mengisyratkan harus segera menjauh dari pancaranya langsung.

Tapi, kali ini aku tidak dapat menghindar karena harus melanjutkan perjalanan menuju kota. Sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari berangkat dari bibir kota menuju pusat kota Khatulistiwa. Namun, saat ini aku agak siang sehingga harus bersentuhan langsung dengan teriknya mentari.

Pemandangan tak biasa juga ku jumpai di perempatan jalan yang menjadi pusat lalu lintas dari segala arah. Papan lampu menampilkan angka 60. Tepat aku harus berhenti selama 1 menit. Ku pandangi saja banyak spanduk di pinggir jalan dan ah iya seorang pemuda menggunakan baju warna putih kecoklatan, nampak lusuh dengan celana selututnya. Ia juga menggunakan swallow sebagai alas kaki agar tidak melepuh dicium aspal yang marah.

Lagu demi lagu dinyanyikan tepat di samping jendela mobil. Ia terus bernyanyi sampai sang sopir baik hati membukakan pintu dan memberikan sejumlah uang pada nya. Mobil pertama memberikan nya uang 2.000 dan dengan gembira ia mengambil uang tersebut dan langsung menggengamnya seakan uang itu bisa lari sendiri.

Pria berbaju lusuh dengan ukulele nya kembali mendekat pada mobil kedua tetapi sang sopir seakan tidak melihatnya. Suara makin dinyaringkan dan terus saja bibirnya berkomat kamit mencurahkan nada demi nada.

Sebentar, lampu tadi sudah menunjukan angka 10 artinya sang pengamen hanya memiliki waktu 10 detik untuk dibukakan pintu. Ban mobil mulai maju sedikit, kaki sang pengamen mengikuti tapi tetap saja pintu tak dibukakan.

Bak kilat sedang menyambar, sang pengamen sudah ada di jendela mobil ketiga. Tapi sayang, waktu tinggal 3 detik lagi dan mobil melaju kencang.

Akhirnya, dalam waktu satu menit sang pengamen berbaju lusuh mendapatkan 2000 cukup untuk membeli es.

Aku tidak mengerti juga kenapa dirinya tidak tertarik mendekati kami pengguna sepeda motor dan melintas begitu saja. Jadi akan terasa agak lucu ketika kami harus memanggilnya untuk mendekat.
Ada kah orang lain akan menghargai setiap nada yang keluar dari mulut mu.

Jadi, aku hanya menikmati peristiwa di perempatan jalan lampu merah dalam satu menit. Dan aku sadar bahwa hidup ini bergitu keras dan kita harus kuat menjalaninya. Mungkin dia serpihan kecil dari anak-anak kurang beruntung yang tidak dapat mengenyam pendidikan sehingga tidak merasakan bagaimana ritme di bangku sekolah dan kuliah.

Kelak, aku ingin berjumpa lagi dengan mu dan meminta satu lagu TERBANG dari KOTAK BAND biar kau juga rasakan indahnya lantunan dari lirik-lirik penuh semangat itu.

Pontianak, 12 Desember 2017

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)