Review Buku Sekolah Itu Candu

Isa Oktaviani
By -
1


Judul      : Sekolah itu Candu
Penulis   : Roem Topatimasang
Tebal      : 178 halaman
Penerbit : Insist Press

"Sekolahlah nak, biar nanti masa depanmu bagus. Sekolahlah biar nanti kalian tidak seperti kami, hanya jadi petani padi dengan kehidupan pas-pasan dan selalu banting tulang"

Adalah ungkapan paling sering dari orang tua kepada anak-anaknya. Mereka ingin mengubah nasib dari yang tak punya apa-apa hingga hidup enak. Standar bahagia memang beda, mungkin bagi mereka bahagia adalah hidup tidak sengsara. Sekolah lalu dapat pekerjaan yang baik.
Tapi, apakah hanya sekolah yang menjamin itu semua?

Membaca Sekolah Itu Candu, hasil pemikiran Roem Topatimasang seperti obat pelipur lara. Ini buku pertama yang saya baca tentang sekolah di Indonesia tetapi apa yang dituangkan hampir sama persis dengan protes yang menyelimuti pikiranku. Padahal dia menulisnya tahun 80-an bahkan aku belum direncanakan untuk lahir tapi nyatanya sistem pendidikan Indonesia masih saja sama.

Buku ini amat teliti, dibangun dari bagian 1 hingga 14. Bermacam-macam dibicarakan, mulai dari asal muasal sekolah hingga sekolah masa depan. Jika dulu sekolah hanya dijadikan pengisi waktu kosong tapi sekarang sekolah menjadi hal yang utama bahkan ia mengurangi waktu luang.

Bayangkan saja, sejak dini minimal usia 4 tahun sudah masuk TK, kemudian SD hingga SMA. Setidaknya 10 hingga 11 tahun waktu kita habis untuk Sekolah.

Tamat SMA akan ditanya mau jadi apa? Sudah bisa mendapatkan pekerjaan yang didambakan orang tua? Jawaban: Tidak. Tamat SMA tak ada apa-apanya, harus lanjut ke perguruan tinggi.

Kalau cuma tamat SMA, cukup jadi tukang bersih-bersih kantor atau pelayan di resto maupun cafe.
10 tahunmu itu hilang, terbang bersama angin. Kimia, Fisika maupun Sejarah yang sudah dipelajari dalam kurun waktu kuranglebih 6 tahun, takkan terpakai. Syukur-syukur ilmu bahasa maupun agama bisa digunakan. Tapi, Bahasa Indonesia juga tak terpakai. Agak kaku kalau harus ngomong sehari-hari dengan bahasa sesuai EYD atau PUEBI.

Seperti yang diulas Roem di bagian 10 - Jalan Sekolah. Secara rinci dia menceritakan semangat sekolah yang tinggi dari anak-anak Dusun Kecil Galung-galung, Sulawesi Selatan. Mereka rela jalan kaki menembus hutan dan gunung demi sekolah bahkan ada yang sampai tamat di perguruan tinggi. Tapi hasilnya? Tetap kembali ke kampung dan jadi petani. Tak ada yang mengubah kampungnya.

Sepertinya Roem memang memiliki kritik besar terhadap pendidikan di Indonesia. Mulai dari apa yang dipelajari, jam belajar hingga seragam sekolah. Dulu anak-anak belajar langsung ke lapangan tapi sekarang malah sibuk dengan teori-teori yang disesuaikan dengan kurikulum. Terlebih lagi seragam yang digunakan, lengkap dengan tas dan sepatu. Memang elok terlihat rapi tapi apakah itu sesuai dengan tujuan sekolah?

Dalam catatannya, Roem kembali mengulik sekolah bak perusahaan. Betul memang, bukan cuma dulu bahkan sampai sekarangpun begitu. Sekolah mengeruk uang dari para siswa. Orangtua dipaksa harus mampu membayar baik uang SPP maupun seragam. Bahkan saya cukup heran, ada SD dengan SPP belasan juta. Dengan bayaran sebesar itu, tiap bulan dipastikan saya bisa ganti laptop.

Tapi tunggu dulu, bukan hanya SD, bangku kuliah yang diidamkan banyak insan khususnya orangtua. Tak kalah menarik, uang demi uang dialirkan untuk menghidupi diri di bangku kuliah. Meski berlabel Universitas negeri tapi bayaran tetap swasta bahkan bisa lebih mahal.

Contohnya tempat saya kuliah, diterapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) makin mencekik orangtua. Apalagi sudah status Badan Layanan Umum (BLU) , pendidikan yang katanya mencerdaskan anak bangsa makin komersial.

Tapi, setelah lulus. Apa yang terjadi? Ribuan sarjana muda daftar jadi mitra ojek online. Kalau begitu, kenapa harus sekolah lama-lama, hampir 20 tahun sia-sia dan akhirnya tidak terpakai. Tak cuma itu, mereka yang kurang uangnya jangan harap bisa mengecap pendidikan formal.

Kumpulan catatan Roem ini memang sangat menggugah. Dia mampu melihat dari berbagai sisi. Sekolah di Indonesia terseok-seok, prasarana juga tidak menunjang. Meski Indonesia adalah negara yang kaya tapi habis dihisap lintah berdasi. Uang rakyat dikuras habis lalu dikorupsi berjamaah. Seperti kasus Mega Proyek E-KTP yang melibatkan Ketua DPR RI. Jika uang 2,3 trilyun itu diinvestasikan ke sekolah, berapa anak yang bisa menikmatinya.

Sebenarnya, sekolah yang menjadi candu kita itu tak ada salahnya jika dilakukan sesuai tujuan. Mampu menemukan bakat setiap anak lalu terus mengasahnya, memberikan ruang bebas untuk anak-anak menemukan jati diri mereka bukan malah mendikte sesuai kebijakan menteri pendidikan yang berganti setiap 5 tahun.

Anak-anak sampai mereka di Universitas akan terbiasa didikte bukan berpikir kritis jadi wajar saja akhirnya sulit mengubah kehidupan bahkan mencari kerja saja susah. Semua jadi berlomba-lomba daftar PNS demi menjamin hidup di masa depan. Pengangguran juga semakin tahun terus meningkat.

Sekolah yang terlalu banyak nuntut juga berujung maut. Tak sedikit anak-anak memutuskan bunuh diri karena tak lulus Ujian Nasional, tak masuk sekolah tujuan atau skripsi yang tak kunjung usai juga menjadi permasalahan yang tak kalah memprihatinkan. Ujian Nasional nyontek berjamaah, jual beli soal dan kunci jawaban. Itu hal lumrah di sekolah kita.

Kebiasaan anak-anak hingga dewasa di atur oleh sistem sekolah yang mereka jalani. Semua harus seusai, jika guru menulis A maka setiap murid lakukan hal yang sama. Hasilnya, anak-anak akan seragam, tak ada pemikiran lain.

Wajar jika di Indonesia begitu-begitu saja. Meski ada juga yang mau keluar dari zona itu tapi akhirnya kurang mendapat dukungan dari berbagai pihak khususnya pemerintah. Jadi, anak-anak yang cerdas ini lari ke negeri orang karena lebih menghargai karya mereka.

Namun, kita patut bersyukur dengan kehadiran sekolah alternatif yang dijabarkan seperti sekolah masa depan oleh Roem. DiKota Pontianak sendiri ada sekolah alternatif tingkat PG-PAUD dan TK Cerlang,  tingkat SD ada Sekolah Canopy. Meski Jogya sudah lebih dulu membuat tapi langkah cepat tanggap itu perlu kita apresiasi. Kiranya, nanti lebih banyak yang bergerak dan mendukung sekolah alternatif itu.

Catatan Roem ini memang lezat dikunyah, penulisannya ringan dan mudah dipahami. Terlebih lagi apa yang ditulis berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang relevan dari masa ke masa. Membaca Sekolah Itu Candu seperti menikmati coklat panas di musim hujan.

Buku ini sangat cocok untuk mereka yang punya pemikiran kritis untuk sekolah di Indonesia, para guru dan juga pemangku kebijakan khususnya di dunia pendidikan. Jika semua elemen bersatupadu, melihat ulang kejadian yang ditawarkan sekolah selama ini dan mau memperbaikinya sedikit, maka bisalah generasi selanjutnya menjadi anak-anak yang mampu memperbaiki nasib bangsanya. Bukan lagi mental pengikut tapi menjadi pionir.

Meski buku ini sarat makna tapi penampilan juga jadi perhatian. Pemilihan font dan tata letak mungkin bisa diperbaiki karena dengan tampilan seperti sekarang, agak sakit mata memandang. Semoga ada cetakan ulang dengan font yang standar atau setidaknya lebih nyaman ketika membacanya. Tapi, terlepas dari itu semua, mari bersama kita baca buku ini.

Menuju sukses, sekolah bukan satu-satunya jalan. Jika ia tak mampu memberi perubahan, untuk apa habiskan waktu bertahun-tahun. Tapi, jika ia mampu memberi perubahan,
Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina (begitu kata pepatah).

Selamat membaca.
Selamat menikmati.

Post a Comment

1Comments

  1. Salah satu buku yang berpengaruh besar dalam proses pendewasaanku. Sampai kepikiran menggagas sekolah alternatif setelah membacanya hahaha.

    ReplyDelete
Post a Comment