Review Gadis Pandai - Feodalisme Jawa Tanpa Jiwa Kemanusiaan

Isa Oktaviani
By -
0

Review Gadis Pandai - Feodalisme Jawa Tanpa Jiwa Kemanusiaan


Judul : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal: 270 halaman


"Ayampun bisa membela anaknya Bendoro. Apalagi sahaya ini, seorang manusia, biarpun saya tidak pernah mengaji di surau. Dia bayiku sendiri  ! Biar bapaknya setan, biar iblis neraka, dia bayiku sendiri - Gadis Pantai ( Hal. 263, 264)

Gadis Pantai sejatinya adalah sebuah trilogi layaknya Trilogi Pulau Buru. Sayang, dua buku lanjutan raib di telan keganasan kuasa. Beruntung, Gadis Pantai diselamatkan oleh Nasional Australia (ANU) sehingga kita bisa menikmati novel ini hingga sekarang

Pram, bagi saya sangat banyak menuliskan kisah perempuan yang harus berjuang mengalahkan ketidakadilan. Seperti Larasati , Midah, Gadis Pantai , Panggil Aku Kartini Saja,  Annelies dan Nyai Ontosoroh (Bumi Manusia)

Dalam buku Gadis Pantai ini, kita akan dibawa pada masa penjajahan, dimana para pejabat atau priyayi amat diagungkan. Mereka boleh menikahi siapa saja, menindas dan membuang tanpa rasa kemanusiaan.

Tak peduli ia adalah seorang Haji yang dikagumi, tak peduli juga dia bersikap sopan santun dan ramah tapi nyatanya tidak ada jiwa kemanusiaan.

Seperti yang digambarkan Pram dalam kisah Gadis Pantai ini. Sejatinya anak umur 14 tahun masih terus menikmati masa kecilnya bersama udang dan karang laut yang lucu tetapi entah darimana datangnya, Gadis mungil ini dilamar dan dinikahkan bersama keris.

Dalam kisahnya, keris menjadi pengganti mempelai pria terpandang ketika ia menikahi perempuan dari kalangan masyarakat biasa atau selir.

Membaca Gadis Pantai akan membuat kita berpikir kembali, ternyata keadaan sosial kita memang jomplang sejak dulu. Orang-orang pinggiran banyak buta aksara, dianggap rendah dan menjijikan lalu boleh diperlakukan semaunya.

Tapi, dalam bagian ketika Mardinah hendak membawa Mas Nganten (Gadis Pantai) kembali ke kota karena sudah 2 minggu pulang ke kampung halaman, di sana saya menemukan kecerdikan orang desa. Meski buta aksara, mereka sangat cerdas.

Kalau tidak, bisa-bisa gadis Pantai sudah dihabisi di jalan oleh Mardinah yang diutus Bendoro dari Demak untuk membunuh Gadis Pantai karena dianggap tak layak jadi pendamping Bendoro.

Solidaritas masyarakat desa juga terjalin ketika mereka bersepakat untuk melindungi Gadis Pantai. Setiap orang rela tidak melaut demi menjaga rumah Gadis Pantai, karena kwatir ada yang datang. Sebelumnya, mereka memakai skenario kampung di serang bajak laut. Sengaja seluruh desa digelapkan lalu semua lari ke laut.
Dengan mudah, mereka menghabisi pengawal Mardinah yang tadi berencana membunuh Gadis Pantai

Kegaduhan kampung yang dibikin mulai reda. Gadis Pantai kembali ke rumah dan dia juga harus kembali ke kota, tempat suaminya.

Selama 3 tahun dirinya menikah dengan priyayi yang jarang di rumah dan kadang dirindukan.
Bendoro bukanlah suami, tapi tuannya. Tuannya yang memberikan benih bayi, darah daging Bendoro dan Gadis Pantai

Namun. Gadis Pantai dibuang begitu saja setelah melahirkan seorang anak perempuan. Tanpa rasa kasian, tanpa rasa kemanusiaan. Anak itu direbut dari Gadis Pantai, Ibu kandungnya sendiri.

Dengan tangis dan rasa terluka. Gadis Pantai kembali. Bukan di rumah bapaknya, bukan di Pantai yang elok itu. Dia memilih pergi di tempat perempuan yang dulu pernah mengurus dirinya ketika menjadi wanita utama di rumah Bendoro yang dianggapnya bak neraka

Kini. Bapak dan keluarga diminta untuk menganggap dirinya telah tiada. " Belilah perahu paling bagus buatan Lasem. Anggap itu anak bapak, penggantiku. Sayangi dan rawat dia"
Kata Gadis Pantai kepada bapaknya.


Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)