Merindukan Paskah Tanpa Petugas Keamanan

Isa Oktaviani
By -
0

Merindukan Paskah Tanpa Petugas Keamanan 


Tanggal 4 April 2021, semua umat Kristiani bersukacita merayakan kebangkitan Yesus Kristus yang biasa kita sebut dengan perayaan Paskah. Sejak Rabu Abu, khususnya umat Katolik mulai berpantang dan berpuasa untuk refleksi diri, meperbaiki tutur, pikiran, dan juga mendekatkan diri dengan Sang Pencipta serta berupaya meningkatkan kebaikan kepada sesama, bersedekah dan membantu sesama dalam berbagai hal. Masa Prapaskah inilah yang diharapkan memberikan waktu bagi kita untuk lebih mengenal diri sendiri dan juga Tuhan, lewat kesederhaan, menahan hawa nafsu dan lebih peduli kepada sesama.



Kemudian kita merayakan Minggu Palma, sebagai pembukaan Pekan Suci menuju Paskah. Harusnya ini adalah sukacita bagi kita, tetapi justru sebaliknya. Bertepatan dengan Minggu Palma, kejadian pilu justru terjadi tepat di depan Gereja Katedral Makassar, bom bunuh diri merampas dua nyawa pelaku dan membuat puluhan orang terluka fisiknya. Namun, yang terluka hatinya seluruh Indonesia bahkan dunia, kenapa, kenapa selalu begini. Kenapa harus ada teror menjelang hari raya? Sesulit itukah kita bisa sama-sama merasakan sukacita itu? Teramat susah hatikah kita menjaga persaudaraan atas nama sesama ciptaan Tuhan?

Puncaknya adalah setiap perayaan maka akan banyak petugas keamanan yang menjaga Gereja. Ini pemandangan yang tidak nyaman menurutku. Ketika ada petugas keamanan apalagi polisi atau tentara, artinya kita sedang tidak aman sehingga harus di jaga mereka. Seharunya kita bisa merayakan dengan hikmat dan penuh syukur tapi justru diliputi dengan perasaan was - was dan tidak nyaman. Ini bukan yang pertama, setiap ada perayaan maka akan ada petugas keamanan yang berjaga. Ternyata tidak hanya terjadi di Gereja, Masjid juga serupa. Tahun 2019, pernah juga ada bom jelang Idul Fitri. Wajar saja, penjagaan akan semakin ketat.

Kadang aku bertanya, kenapa kita harus menyakiti orang lain demi mendapatkan surga-Nya? Kenapa harus membenci untuk memperoleh kasih-Nya? Apakah memang harus seperti itu? Bukankah kita diajarkan untuk saling mengasihi antar sesama manusia, sebagai sesama ciptaan-Nya? Tuhan kita tidak mengajarkan untuk membunuh dan menyakiti sesama karena manusia adalah citra Allah. Jika kamu menyakiti sesama manusia, maka kamu sudah menyakiti Allah. Jika kamu membunuh manusia, maka kamu bermaksud membunuh Allah. Lantas, masihkah kamu ingin menyakiti sesamamu jika mereka adalah citra Allah?

Bisakah kita lebih memperdalam belajar agama, melihat setiap teks dari konteksnya. Bisakah kita bisa memperdalam makna dari ajaran itu supaya kita tidak mudah untuk membenci karena hanya beda agama atau golongan? Mungkin kita perlu mengambil waktu sendiri, ber-refleksi, apakah benar kita bisa mendapat nikmat setelah menyakiti orang lain hingga punya keinginan membunuh? Apakah benar itu yang diajarkan dalam agama kita?


Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)