Ahmadiyah adalah Kita

Isa Oktaviani
By -
0

Ahmadiyah adalah Kita



Pertama kali kenalan dengan Ahmadiyah sekitar 4 tahun lalu, tepatnya di tahun 2018 ketika aku dan beberapa teman diajak untuk mengikuti Jalsah Salanah, pertemuan tahunan dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kalimantan Barat, semacam rembuk tahunan gitu. Kesan pertamaku berbaur dengan mereka adalah merasa nyaman dan diterima dengan tulus, meski belum kenal sama sekali. Dari situ aku bisa tahu, kalau teman - teman Ahmadiyah ini baik banget.


Tak hanya berhenti sampai di sana, setiap lebaran kami selalu berkunjung ke Masjid Ahmadiyah di Pontianak. Selalu dan selalu, kebersamaan yang dibangun adalah kehangatan keluarga, meski kami berbeda - beda agama dan suku. Aku ingat betul ketika kami buka puasa bersama di sana, teman - teman Ahmadiyah sudah menyiapkan makanan spesial, semua mereka masak sendiri, rasanya, topp banget. Setelah jamuan makanan dan ngobrol selesai, kami dipersilahkan membawa makanan pulang. Sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tua, tentu saja ini angin segar karena makanan sehat dan enak.

Namun, meski teman - teman JAI ini sangat baik kepada siapa saja, siapa sangka justru banyak yang merasa terusik dengan kehadiran mereka. Tuduhannya selalu sama, Ahmadiyah bukan Islam, aliran sesat karena JAI menganggap bahwa Imam Mahdi sudah datang ke dunia. Padahal, Ahmadiyah juga memiliki syahadat yang sama dan menjalankan rukun Islam. Beragam respon penolakan sering dialami, mulai dari tidak diterima sholat di masjid non-Ahmadiyah. Pernah ada JAI yang sholat di masjid non-Ahamdiyah malah bekas duduknya dipel oleh petugas. Diskriminasi dan intoleransi sering dialami, misalnya kasus di Cikeusik yang amat memilukan bagi kita. 

Namun, hal memilukan adalah ketika jelang kemerdekaan RI ke-76 tahun, tepatnya 14 Agustus 2021, terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kab. Sintang, Kalimantan Barat. Kasus ini terjadi di tempatku sendiri, Kalimantan Barat. Paling memilukan adalah penyegelan ini dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sintang. Keputusan ini sangat tidak tegas karena pemerintah yang harusnya memberikan pemenuhan hak kepada masyarakatnya, justru merenggut itu.

Rasanya sudah sangat sering JAI dijadikan obyek diskriminasi dengan berbagai alasan, entah itu karena kepentingan politik, kekuasaan atau faktor ekonomi. Rasanya, intoleransi terus dihidupi demi kepentingan oknum dari pihak tertentu untuk mencapai tujuan mereka. 76 tahun Indonesia merdeka, belum ada juga ketegasan negara untuk memberi perlindungan bagi kelompok rentan hingga mereka harus lagi dan lagi merasakan pilu yang sama hanya karena mereka berbeda keyakinan dengan orang kebanyakan di Indonesia. 

Tidak bisakah kita merasa baik - baik saja, berdampingan meski berbeda agama dan keyakinan? Sulitkah bagi kita untuk menjalani hari - hari tanya merasa terusik hanya karena berbeda pandangan saja? Tidak mampukah kita memupuk cinta kasih atas nama kemanusiaan?

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)