Demi Ayu Utami

Isa Oktaviani
By -
0


Siang itu, tiba waktunya untuk bersantap mengisi perut yang mulai keroncongan. Aku langsung saja meluncur dari lantai enam ke lantai pertama. Dari jarak sekitar lima meter aku melihat sosok yang seolah ku kenal tapi ku abaikan saja. Karena cacing sudah memanggil, tanpa ragu langsung mengisi piring dengan makanan yang tentunya sedap untuk dinikmati.

Sembari menyantap hidangan, aku dikagetkan dengan pernyataan dari kak Evi, panitia dari Qureta. “Nanti materi mba Ayu, kamu notulensi yaa,” katanya santai. “Oke sipp kak. Memangnya mba Ayu udah datang,” sambutku. “Udah, itu disana,” katanya sembari mengarahkan pandangan ke tempat Ayu Utami.

Aku baru teringat dengan sosok yang kulihat ketika keluar dari lift. Dari kejauhan memang tampak seorang wanita dengan perawakan agak kecil dan tinggi. Memakai baju kaos dengan lengan sekitar tiga jari, dipercantik oleh celana panjang coklat. Gaya duduknya pun tidak biasa, sesekali ia menghisap rokok. Bagiku ini orang keren, bebas merdeka. Jarang sekali aku melihat orang-orang seperti ini.

Lalu terlintas pula dalam benakku, Padre Martin Siregar si nabi unkonvensional. Sosok yang hampir tua ini pun punya gaya tidak kalah, sangat bebas merdeka. Ia bisa saja terserang demam jika tidak menulis dalam sehari, tetapi gaya menulisnya tidak lah terpaku pada aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.

foto bersama Ayu Utami dan peserta kelas menulis esai.

Santap siang telah usai, lalu kami melanjutkan untuk ikut kelas menulis dengan pemateri Ayu Utami. Wanita kelahiran Bogor, Jawa Barat ini semakin meroket kala novelnya berjudul SAMAN memenangi Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Sebelumnya, pemilik tahi lalat di dahi ini juga pernah menjadi jurnalis dibeberapa media massa, seperti Tempo, majalah Humor, dan lain-lain. Lalu kemudian memutuskan untuk menjadi novelis dan membuka kelas menulis.

Baru saja kelas dimulai, antusias peserta sudah melampaui batas. Ayu Utami dengan santainya memasuki ruangan dan membuka blazer yang sempat ia kenakan. Lagi-lagi, kata terulang dibenak ku. Ini kali pertama aku melihat pemateri “sexy” begitu. Benar-benar bebas merdeka !!!.

Dinginnya ruangan tidak membuat suasana menjadi kaku, semangat dari peserta terus menghangatkan suasana. Pertanyaan demi pertanyaan diluncurkan kepada Ayu. Jawaban pun terus dilemparkan kepada peserta.

Bagiku, baru kali pertama mendapatkan kelas menulis dengan pemateri yang didamba banyak orang. Dan menariknya lagi, materi yang dibawakan benar-benar mudah diserap dan enak diaplikasikan. Hal ini terbukti dari hasilnya, baru sehari kegiatan kelas menulis, hampir setiap peserta berhasil menerbitkan tulisan esai nya di qureta.com, menurut para peserta hal ini terjadi berkat materi yang diluncurkan oleh Ayu Utami.


Aku sendiri merasakan hal yang sama, setiap kata dari Ayu Utami memberikan wawasan baru dan mudah masuk diotak. Karena asiknya ilmu yang dibagikan membuat kami semua enggan meninggalkan ruangan, hingga ingin buang air kecilpun ditahan.. haha…

Aku dan 25 rekan lainnya tentu merasa sangat beruntung karena bisa bertatap muka langsung dan mendapatkan kelas menulis dari Ayu Utami, karena diluar sana banyak orang ingin bertemu dengannya tapi tak bisa kesampaian.

Aku selalu ingat ini, kata Ayu Utami : Bahasa itu hanyalah kesepakatan saja. Sehingga jangan terlalu dogmatis dengan tata bahasa. Tulis apa saja asal TIDAK MENGHIANATI FAKTA.
Terimakasih Ayu Utami,



Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)