Merajut Keberagaman, Mengakarkan Toleransi di Tanah Borneo

Isa Oktaviani
By -
3
Nobar dan Diskusi, Generasi Muda Bicara Keberagaman

Aku tak percaya akan dibawa sejauh ini, mengitari pusaran Pulau Borneo. Sebab, sejak dalam kandungan hingga duduk di bangku SMA, raga dan jiwaku dijajali dengan pergaulan yang homogen. Agama kami sama, suku apalagi. Meski katanya Indonesia itu beragam, Bhinneka Tunggal Ika yang 5 silanya selalu menjadi santapan asam manis sejak bangku SD. Tapi, toh dalam kenyataan sehari-hari hanya habis dalam seiman dan sesuku. Jadi, apa yang menjadi nilai berbeda-beda tetapi tetap satu?

Tak ada lain kecuali sebatas hafalan belaka. Kalau tidak hafal, nilai kecil atau tidak lulus PKN. Apa hanya sekecil itu Pancasila yang selama ini menjadi dasar negara ? Apa tidak ada pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

Meski waktu SMP sebagian besar guru kami beda suku dan agama, tetapi tetap saja Pancasila habis dalam hafalan untuk ambil nilai. Hafal 5 sila dan contoh pengamalan, artinya paham Pancasila. Tapi sayang, contoh itu tidak pernah dialami langsung oleh kami, hanya nama orang lain yang kami juga tidak tahu entah siapa dan orang mana, cukup contoh tidak ada yang lain.

Waktu bergerak maju, semesta mengantarkan ku ke perguruan tinggi. Inilah jendela pertama, pusaran angin yang menyodorkan pengamalan Pancasila yang sebenarnya. Satu angkatan nyaris tidak ada yang sama, baik suku maupun agama, hanya ada beberapa saja.

Teman-temanku mulai bertambah, tidak tahu darimana dan siapa. Nyatanya kami berteman begitu saja, tidak paham apa itu perbedaan, apa itu toleransi, yang kami tahu kami hanya berteman, satu kelas, satu angkatan, satu keluarga besar, nama kampus kami.

Semakin larut pertemanan itu berangsur jadi keluarga, bisa dibilang keluarga kecil, tapi kami menikmati. Keseharian sebagai mahasiswa mulai mengikis ingatan sekolah menengah, kehidupan yang terbiasa homogen mulai tidak terbiasa. Dari sini aku mulai mengenal apa itu puasa, bagaimana rasanya berkunjung ketika perayaan Idul Fitri, Imlek, maupun merasakan langsung sunyinya ketika Nyepi.

Baca JugaBukber, Ajang Silaturahmi Rutin Bulan Ramadhan

Hal menarik semakin nyata yang kualami ketika masuk di salahsatu UKM Universitas. Di sini juga aku menemukan teman dan keluarga baru. Tidak ada perbedaan suku atau agama, semua menyatu, belajar dan berkumpul bersama. Tujuan kami sama, terus belajar dan mengeruk sebanyak mungkin pengalaman agar lebih bermanfaat bagi banyak orang.

Arti Pancasila, toleransi itu nyata ketika akhirnya aku menemukan ruang baru, dengan dimensi berbeda yang mengharuskan bergaul dengan banyak orang. Hal sederhana ini terus dilewati, berteman dan bicara dengan siapa saja tanpa memberi jarak karena sebuah kata perbedaan.

Lalu, kemungkinan latar belakangku yang terbiasa homogen mengantarkan ku menjadi sosok yang ingin tahu dan mengabdikan diri untuk keberagaman. Jiwa dan raga sering berlabuh dalam kegiatan-kegiatan berbau keberagaman, mulai dari diskusi lintas iman, seminar, hingga workshop dengan tema menjaga keberagaman di Khatulistiwa dan secara umum Indonesia.

Kenapa keberagaman ini menjadi kunyahan renyah untuk dinikmati dan dilahap bersama ? Ini tak lain karena banyak kejadian intoleransi yang mulai menyasar bumi yang kita cintai ini. Meski dikoar-koarkan kita satu bangsa, satu bahasa dan satu rumah bernama Indonesia, tapi kenyataannya banyak kejadian yang sifatnya diskriminasi karna tidak mampu menerima perbedaan.

Melirik penelitian Setara Institute, selama tahun 2017 ada 155 kasus Intoleransi di Indonesia. Ini cukup mengiris hati kita, padahal hidup berdampingan tanpa melihat suku maupun agama itu sangat manis, hidup damai tanpa perpecahan itu sangat romantis.

Baca juga : Setara Institute: Terjadi 155 kasus intoleransi sepanjang 2017
Namun, menyaksikan beragam kejadian karena perbedaan itu membuat banyak pihak tergerak melakukan sesuatu. Hal yang dianggap mampu merajut tali-tali yang mulai kusut hingga jangan sampai putus. Dilakukanlah serangkaian kegiatan yang melibatkan langsung beragam suku maupun agama sehingga ada dialog terbuka. Harapannya adalah jangan sampai ada salah paham hingga menimbulkan perpecahan.

Apalagi di Kalimantan Barat yang menjadi salahsatu tempat bekas konflik suku, tentu kejadian memilukan puluhan tahun silam jangan sampai terjadi lagi.
Pemuka agama maupun suku mulai terbuka, membuka rongga persaudaraan untuk menangkal permusuhan. Seperti yang dilakukan oleh paguyuban setiap bulannya, semua suku akan bergantian menjadi penyelenggara dan acara tersebut dinamai COFFEE MORNING. Ini adalah ajang perjumpaan dan dialog antar suku agar hal-hal yang konyol tidak terjadi.

Pemuka agama juga melakukan hal serupa, dalam dekapan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalbar, mereka rutin mengadakan dialog, mencegah perpecahan yang terjadi.
Tak terkecuali juga organisasi masyarakat yang terlibat langsung untuk membuat formula mencengah perpecahan serta organisasi pemuda yang peduli keberagaman. Mereka saling bahu membahu untuk membuka ruang perjumpaan, baik sesama pemuda maupun dengan orang yang lebih tua. 

Semua pihak bekerjasama untuk menjaga Ibu Pertiwi, semua ingin Indonesia tetap jaya, tetap bersaudara tanpa membeda-bedakan. Sebab, keberagaman ini adalah anugerah terindah yang dipersembahkan Sang Pencipta untuk negeri yang dipersunting ribuan pulau dan samudera ini. Tidak ada yang lebih istimewa kecuali Indonesia, memiliki segalanya, beragam suku, bahasa, budaya, daratan, lautan, udara. Indonesia itu paket komplit, kalau ada yang dihilangkan, maka tidak sedap lagi rasanya.

Semoga saja kita tetap mempertahankan paket komplit istimewa tersebut. Semoga :)

Post a Comment

3Comments

  1. Keberagaman jadi hal yang "wah" sekarang. Padahal dulu b aja. Dulu jrg ada seminar atau workshop ttg keberagaman, skrg byk. Ini indikator bahwa intolerance semakin meningkat :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, karna ada oknum yg tak mampu menerima perbedaan

      Delete
  2. Indonesia memang beragam. Tapi, kita ada karena kebersamaan

    ReplyDelete
Post a Comment